Menjelang tengah malam, aku masih terjaga. Mata ini rasanya sulit untuk dipejamkan. Putaran waktu yang membawaku kembali berbaring disini. Di tempat tidur kenangan kamar pertamaku.
Di pojok kanan masih setia buffet besar dengan cermin lebar di kedua sisinya. Tepat di seberangnya berdiri meja belajar kayu yang sudah mulai reyot. Meja ini dulu selalu setia menemaniku melewati malam-malam dalam suka dan duka. Beberapa coretan masih tampak terbaca walaupun sudah mulai memudar. Loster yang dilengkapi palang besi masih seperti yang dulu kokoh tapi agak sedikit kuno. Debu tipis menutupi cat yang sudah lapuk dimakan usia.
Ibu selalu cerita kalau saya dilahirkan di kamar ini. Atas alasan itulah beliau menjadikan kamar ini sebagai kamar pertamaku saat aku mulai tidur terpisah dari orang tua. “Kamar ini, bernilai sejarah” katanya.
Aku mencoba menyapa kursi. Dia tampak girang melihatku kembali setelah puluhan tahun tidak bertemu. “Kemana saja kamu?” katanya. Aku coba meminta maaf atas kelalaianku selama ini. Dia kemudian menjelaskan panjang lebar bahwa selama ini sangat merindukan kedatanganku ke kamar ini lagi. “Walaupun reyot begini, aku pernah menyangga kau saat belajar dulu” ujarnya dengan nada sedih. Tiba-tiba ranjang menangis sesegukan. Aku coba menenangkanya dan meminta maaf sebagaimana yang kulakukan ke kursi. “Aku juga sama. Sudah bertahun-tahun tidak dihiraukan olehmu” katanya sambil menangis.
Mereka menyadarkanku bahwa begitu banyak jasa orang lain yang membuat kita pada posisi sekarang ini. Sebagai manusia waras, Sangat naif jika kesuksesan yang diraih pada saat ini bukan semata-mata hasil kerja keras sendiri. Semua itu adalah serangkaian andil dari mahluk lain. Bahkan benda mati sekalipun.
Kamar kenangan
Lewat tengah malam…